Tweet |
Tiga hari yang lalu,
saya menerima telepon dari seorang wanita yang menanyakan kiriman majalah yang
sudah dua bulan belum dikirim. Dengan intonasi suara yang meninggi, saya dapat
menyimpulkan bahwa si wanita ini sedang naik pitam. Bicaranya tidak bisa saya
sela. Karena dia terus bicara, maka saya hanya menjawab; ya bu? ya bu? ya bu? sepanjang
ia bicara. Karena saya bukan bagian distribusi, maka saya mengatakan kepada si
penelpon tadi bahwa saya akan segera mengkonfirmasikan kepada bagian distribusi
sembari memohon maaf atas ketidaknyamanan pelayanan kami. Sebelum telpon
ditutup, saya sempat menanyakan siapa nama si penelpon dan alamatnya. Dengan
cepat ia mejawab; saya ibu hajah titik-titik (saya lupa namanya karena dia
begitu cepat bicaranya) tinggal di Kober, Purwokerto. Tadinya saya mau
mengakhiri pembicaraan via telepon ini dengan salam, namun ia menutup telepon
begitu saja. Sejujurnya saya agak kesal juga, namun sepertinya si penelpon ini
pelanggan yang tetap setia dengan produk majalah kami.
Nah, tulisan ini
terinspirasi dari kejadian tersebut. Namun, sebelum sobat lebih jauh membaca
refleksi ini, saya memohon maaf jika ada pihak-pihak yang merasa tersinggung
dengan pengalaman saya ini. Sebab, setiap orang pasti mempunyai sudut pandang
masing-masing dalam menganalisa dan menilai sebuah peristiwa. Dan postingan ini
merupakan sudut pandang saya sendiri.
Begini, ketika saya
menanyakan nama si penelpon pada peristiwa di atas, ia sempat menjawab; saya
ibu hajah titik-titik (saya ingatnya cuma ibu hajahnya, sedang namanya saya
lupa). Karena saya agak kesal juga, maka kemudian secara reaksioner saya
membatin; hajah koq seperti itu!! Lantas saya bertanya pada diri saya sendiri;
apakah cara orang tersebut menjawab namanya dengan sebutan hajah adalah cermin
haji yang mabrur?
Saya sendiri tidak
tahu persis sejarahnya kenapa orang Indonesia melabelkan huruf H dan Hj di
depan nama para pemeluk Islam yang kebetulan pernah menunaikan ibadah haji.
Hanya menurut hemat saya, seharusnya tidak perlu ada label H tau Hj di depan
nama seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji. Sebab, pelabelan
tersebut terkesan memamerkan ibadah hajinya. Padahal, saya yakin beribadah itu
tidak boleh dipamerkan. Menunaikan haji merupakan bentuk ibadah yang privat
bagi seseorang kepada Tuhannya atau dalam bahasa Arabnya habluminallah.
Artinya, mabrur atau tidakya hanya Tuhan saja yang tahu.
Selanjutnya, selain
terkesan memamerkan, pelabelan H atau Hj di depan nama seseorang yang telah
menunaikan ibadah haji juga berimplikasi luas secara sosial. Sebab, masyarakat
kita terlanjur menilai label H atau Hj tersebut merupakan simbol kesempurnaan
seorang pemeluk agama Islam. Maka menjadi wajar jika masyarakat menjastis bahwa
seorang haji atau hajjah, adalah orang yang sempurna dan tidak boleh salah.
Padahal menurut saya, jangankan haji, nabi saja pernah melakukan kesalahan.
Implikasi sosial
lainnya atas pelabelan H atau Hj tersebut adalah semakin membuat citra agama Islam
menjadi buruk. Maaf, jangan marah dulu sob. Begini, apakah sobat selaku pemeluk
Islam akan marah jika saya mengatakan bahwa mayoritas koruptor di negeri ini
adalah beragama Islam? dan banyak dari mereka yang bertitel haji atau hajjah?
Kalau sobat marah, inilah yang saya maksud dengan pelabelan H atau Hj akan
membuat buruk citra agama Islam. Sebab, banyak sekali pemeluk Islam atau bahkan
non Islam sekalipun yang menilai keburukan seseorang hanya dari label H atau Hj
saja.
Lalu apakah jika
budaya melabelkan H atau Hj di depan nama seseorang yang telah berhaji tersebut
dimusnahkan akan serta merta mengurangi makna ibadah haji seseorang? Saya pikir
tidak. Karena itu, semestinya orang yang menelpon saya di atas tidak
menyebutkan label Hajjahnya. Sebab kentara sekali dia sedang memamerkan labelny
itu kepada saya. Dan sekali lagi, pada kasus ini saya hanya bertanya nama dan
alamat. Ini memang hal sepele.
Kesimpulaya, saya
sangat sepakat jika label atau title Haji dan Hajjah tidak disematkan di depan
nama seseorang yang telah menunaikan ibadah haji. Kedua, sudah waktunya Kementrian
Agama (Kemenag) sebagai otoritas yang mengeluarkan label tersebut memperhatikan
hal sepele ini jika tidak ingin citra Islam semakin buruk . Yang terakhir,
banyaknya jumlah haji atau hajjah di Indonesia ternyata tidak berpengaruh
kepada kualitas kehidupan umat Islam di Indonesia. Bagaimana dengan sudut
pandang sobat?
selalu sejuk .
ReplyDeletethanks Miz?
DeleteKlw mnrt saya sih, cukup gelar H atau Hj diletakkan di dalm hati saja. Ndak perlu di pamer2kan jika perbuatannya masih seperti itu. Mmg msh byk org2 yg mempunyai gelar H atau Hj tp masih suka korupsi. cb aja tengok artis dan pejabat kita. ini kenyataan yg sering kita lihat di TV
ReplyDeleteyup sy juga setuju dengan ide mu mbak?
Deletebetul sekali kenapa bangga dengan penyebutan gelar tersebut ya. Yang penting gelar itu bisa diproyeksikan dalam kegiatan sehari-hari bukan hanya diucapkan
ReplyDeletesetuju bu?
Deletenyimak dulu
ReplyDeletehaji sama hajah cuma ada di Indonesia dan sekitarnya..di Arab sendiri walau sudah puluhan kali naik hai, ga pernah tuh disebut haji...Wawallahu 'alam.
ReplyDeletehehe...benar mas?
DeleteSaya sependapat dengan sampeyan, Kang. Terkadang kelakuan orang yang sudah punya "gelar" H atau Hj malah membuat miris, contohnya saja seperti cerita sampeyan, mereka yang korupsi, dll.
ReplyDeleteya begitulah Indonesia, Kang?
Deleteyang jadi pertanyaan saya, kenapa mesti tradisi tersebut sampai hari ini masih dipakai ya kang?
ReplyDeleteAda tuh dlu dikampung saya,ktanya sih hajah pi sukanya ngomongin orang...
ReplyDeleteP tu mencerminkan seorang hajah klo sifatnya ja dah kek gtu?
Af,Mas ru bs mampir
Ditunggu kunjungannya di gubug saya.., :)