Tweet |
Buka-buka koleksi buku lama, mata saya terpaku pada
beberapa novel lawas berjudul “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak
Langkah”, “Rumah Kaca”, dan “Arus Balik”. Sobat tentu tidak asing dengan novel-novel
tersebut, apalagi pengarangnya. Ya, siapa lagi kalau bukan satu-satunya kandidat
peraih nobel Sastra asal Indonesia, Parmoedya Ananta Toer. Sastrawan legendaris
yang menghabiskan sebagian usianya di balik jeruji besi itu seolah memaksaku
untuk kembali menziarahi sosoknya.
Baca Bukumu |
Beberapa judul novel karya Pram yang saya punya
seperti tersebut di atas telah saya khatamkan. Di samping isi novelnya yang penuh dengan
fakta sejarah, selalu saja saya mengagumi proses kreatif Pram dalam menulis
novel-novel tersebut. Seperti novel “Bumi Manusia” misalnya. Novel pertama dari
tetraloginya ini ditulis dengan menggunakan kertas semen bekas pembangunan penjara
di Pulau Buru. Tidak hanya itu, apa yang telah Pram tulis di atas kertas semen
tersebut itu pun, harus ia sembunyikan jika ada penjaga penjara melakukan kontrol.
Dia selalu menceritakan kisah si Minke kepada kawan-kawannya di penjara, dan
membuat mereka tertawa.
Saya, atau kita barangkali tidak pernah akan bisa
menikmati karya Pramudya ini jika saja ia tidak berhasil menyelundupkan
naskah-naskah Tetralogi Pulau Burunya yang ia titipkan kepada seorang wartawan
ketika pada suatu hari ada wartawan yang mengunjungi penjara Pulau Buru. Nah,
bagian ini lah saya kira yang sangat heroik, dan selalu membuat saya
terinspirasi.
Saya
Membaca kisah kepenulisan Tetralogi Pulau Buru nya
Pram, selalu saja membuat saya ingin menulis. Menulis apapun, baik itu cerita
pendek, essai, maupun puisi. Namun, selalu gagal di tengah-tengah. Dan setelah
itu, saya buang begitu saja tulisan-tulisan yang gagal itu. Jadilah saya
penulis yang gagal. (galau tingkat tinggi). Alih-alih menjadi penulis, saya
malah nyasar jadi blogger amatir. (nasib). Tapi, sob? Karena nyasar inilah mau
tidak mau toh akhirnya saya menulis juga. Ya, meskipun saya bingung untuk
menyebut tulisan saya itu apa.
Doa Untuk Si
Kecil
Ada semacam harapan, atau katakanlah permohonan
kepada Tuhan, agar kelak, meski bapaknya tidak jadi seorang penulis, atau
ibunya yang hanya seorang guru, minimal si kecil mampu meneruskan kecintaan
saya pada buku dan kepenulisan. Sebab, saya tengah berusaha mengenalkan tradisi
kecintaan saya pada buku kepada keluarga kecil saya. Syukur-syukur si kecil menjadi
penerima nobel sastra (haha…mimpi kali ye..). Tapi nggak ada salahnya kan sob,
toh kewajiban kita hanya berusaha dan berdoa. Sedang yang menentukan tetaplah
Tuhan. Ini si menurut saya, kalau menurut sobat semua gimana?
hobi baca yaa pak,pasti koleksi bukunya banyak...*pinjem donk....hihihi
ReplyDelete@cii yuniatyNggak juga mbak, cuma koleksi buku lama koq. Mba mau buku, tunggu sayembara dari saya yah? trims udah mampir.
ReplyDeleteikut aminin,siapa tahu beneran dpt nobel hehhe :D
ReplyDelete@jiah al jafarahehe...makacih tante...
ReplyDeleteikut amin sob :)
ReplyDelete@Herman BagusMakasih om? Salam:)
ReplyDelete@Djangan PakiesHehe...Kang Jangkies, ya begitu lah kang, sepertinya menjadi blogger memang menjadi salah satu cara ampuh untuk menyalurkanhobi menulis saya. Gagal, dalam perspektif saya adalah ketika tidak satupun tulisan saya menjadi dokumen yang rapi, semacam menjadi buku atau antologi begitulah, tapi semoga saja sih suatu saat nanti bisa. Dan, yang disampaiken panjenengan adalah doa bagi saya. Soal google sudah di aprove, saya juga berterimakasih sama panjenengan yang sudah memberitahu caranya. sekali lagi suwun. Sukses buat panjenengan:)
ReplyDeleteseumur2 saya belum pernah baca novel dia. Kata temenku bagus, tapi sy ragu gaya bahasanya berat macam Dee. Bagus ya?
ReplyDelete@Popi: Tapi bagus novel itu mba, itu novel sejarah koq. bahasanya saya kira juga mudah, hanya sesekali harus membacanya dua kali untuk memahaminya. trims udah mampir. Salam:)
ReplyDeleteDi saat yang sepertinya kurang memungkinkan pun Pram tetap bergelora untuk bisa menulis. Sungguh, ini menginspirasi kita untuk bersemangat menulis, yang tak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi, tak perlu menggunakan kertas bekas bungkus semen, tak perlu takut-takut menitipkan tulisan kepada seseorang agar karya kita dibaca. Hmmm..., makasih banyak ya, Mas, saya jadi tambah semangat neh....
ReplyDelete@Ayas Tasli WigunaMakasih om, sukses juga buat ketemu camernya, hehe...
ReplyDelete@Akhmad Muhaimin AzzetYa begitulah kang? saya sendiri secara pribadi, meski zaman telah bebas begini, belum juga mampu melahirkan tulisan yang pantas disebut sebagai karya sastra. Makasih kang, udah mampir.
ReplyDeleteSetuju apa yang Mas ibrahim tuliskan, buku...sahabat terbaik bagi semua orang. Untuk saya pribadi, buku selalu menjadi 'pacar' saya yg plg setia. kadang untuk membunuh waktu pun yg aku cari adalah buku.
ReplyDeleteDan Pramoedya ananta toer,..siapa yg tidak mengenal sastrawan seperti beliau :)
Dan harapan untuk sikecil, itu kewajiban kita mas...bukankah harapan itu doa? jd buatlah harapan seindah mungkin untuk mereka :)
salam kenal pak, terima kasih atas kunjungannya. suka membaca juga ya
ReplyDeleterumah kaca, arus balik.. mantav pak :)
ReplyDeleteitu anaknya ya.. kelas berapa ^_^
@IrmaSenjaselalu berdoa yang terbaik untuk si kecil mbak? Lagi-lagi saya tidak ingin memaksakan. karena sejatinya jiwa anak itu merdeka. Soal buku, saya juga tidak tahu kenapa kalau tidak membaca buku seolah ada yang hilang...salam:)
ReplyDelete@Lidya - Mama Cal-VinSama-sama mbak? salam kenal juga...iya nih, baru sebatas suka membaca buku...
ReplyDelete@Miz TiaUdah baca novelnya belum Miz? Anak saya belum sekolah.
ReplyDeleteDI BALIK NOVEL PRAM YANG GAGAL MERAIH NOBEL KESUSATRAAN
ReplyDeleteMinggu pagi, 30 April 2006, Pramoedya Ananta Toer, salah seorang pujangga besar Indonesia, menghela nafas terakhirnya pada pukul 08.55 WIB, di usia 81 tahun dan jenazah disemayamkan di kediamannya Jalan Multikarya II No.26, Utan Kayu Jakarta Timur.
Pram sebutan khasnya sehari-hari, lahir di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia . Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Nama aslinya sebagaimana diungkapkan dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul “Cerita Dari Blora,” adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer.”
Mengangkat kembali masalah Pram ke permukaan bukan dikarenakan saya adalah alumnus SMA di Kabupaten Blora, tetapi lebih dikaitkan karena seorang penulis dan peneliti yang menetap di Amsterdam, Joss Wibisono di dalam Majalah Tempo edisi 7,13 Oktober 2013 mengungkap kembali kenapa para Sastrawan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di mana Novel Pram berjudul “Tetrologi Buru,” yang dinominasikan meraih Nobel Kesusastraan bisa gagal.
Dalam hal ini Joss Wibisono mengutip Benedict Anderson, Guru Besar Universitas Cornell di New York, Amerika serikat dalam artikelnya “The Unrewarded” (Yang Tak Teranugerahi) di “New Left Review 80, “edisi Maret-April 2013. “Kelemahan panitia Nobel Kesusastraan di Stockholm, Swedia,” ujar Ben Anderson adalah kunci utamanya.”Terabaikannya Asia Tenggara jelas merupakan kelemahan dan sekaligus titik buta panitia Nobel,” tegasnya.
Diakui Ben Anderson, para Sastrawan Asia memang pernah meraihnya, semasa Rabindranath Tagore dari India. Tetapi India pada tahun 1913 itu masih jajahan Inggris. Belum sepenuhnya mewakili India. Permasalahan penterjemahan juga menjadi kendala utama. Terjemahan Novel Pram, “Tetrologi Buru,” ke dalam bahasa Inggris, roh kesusatraannya hilang begitu saja. Boleh dikatakan terjemahannya jelek. Kesimpulannya bangsa Indonesia yang juga merupakan negara jajahan Belanda, tidak bernasib sama dengan negara-negara jajahan lain. Negara Prancis, Inggris dan Spanyol telah melakukan lobi untuk sastrawan negara bekas jajahan mereka.Tetapi Belanda?
Tetapi perkembangan di Indonesia ada yang mengkaitkan bahwa pemerintah Indonesia tidak bersungguh-sungguh mendukung Novel Pram dikarenakan masa lalu Pram yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia sehingga dibuang ke Pulau Buru. Memang Novel “Tetra Buru”, atau “Tetra Pulau Buru,” atau “Tetralogi Bumi Manusia,” adalah nama dari empat Novel karya Pram yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988. Novel ini pernah dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa. Menurut saya, sebaiknya ketika Novel Pram dinominasi, pemerintah mendukung hal tersebut. Saya berkesimpulan, banyak faktor yang mempengaruhi mengapa Novel Pram gagal meraih Nobel Kesusatraan, baik dari jeleknya penterjemahan sebagaimana diungkap Ben Anderson, kemauan negara penjajah Belanda melobi Komite Nobel hingga dukungan pemerintah Indonesia sendiri terhadap Novel Pram.(http://dasmandj.blogspot.com)