Tweet |
Pada bulan Oktober 2012 yang lalu, saya diminta datang
ke rumah Pak Ahmad Tohari (penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk) di Tinggarjaya
Banyumas, untuk menunggu kedatangan seorang tamu dari luar negeri. Sekitar pukul
10.00 WIB, tamu yang dimaksud ternyata datang juga. Dalam batin saya heran; koq
bule naik ojek yah?
“Iya, saya naik bus dari Yogyakarta, turun di Buntu
terus naik ojek,” ujar sang tamu yang seolah menjawab keheranan saya. Kemudian,
saya, sang tamu, dan tuan rumah Pak Tohari saling berjabat tangan sebelum
dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan sang tuan rumah di teras
rumah.
Jangan dibayangkan bule yang satu ini menggunakan
bahasa Inggris. Justru, Elizabeth Pisani, nama sang tamu ini, begitu lancar menggunakan
bahasa Indonesia. Bule kelahiran Irlandia tahun 1964 silam itu ternyata pada
waktu masih menjadi mahasiswa sekitar tahun 1982 pernah ke Yogyakarta. Sejak saat
itu, dia mengaku jatuh cinta kepada budaya Indonesia.
“Dulu saya juga pernah main ke Dieng. Saya tidak
tahu bagaimana Dieng sekarang,” kata Elizabeth penasaran.
Setelah lulus kuliah, dia mengaku pernah bekerja di
Jakarta kisaran tahun 1988-1992. Namun, dia kemudian pulang ke Negara asalnya. Meski
jauh dari Indonesia, namun Elis, demikian panggilan akrabnya, mengaku masih
terus mengikuti perkembangan Indonesia baik melalui buku, Koran, majalah, dan
internet.
Sekarang, dia sedang berkeliling Indonesia dalam
rangka mencari bahan-bahan untuk kelengkapan bukunya. Berkelana dari pulau ke
pulau, termasuk pulau Jawa. Sepengetahuan Elis, budaya Jawa itu hanya di
Yogyakarta dan Solo. Namun, begitu Pak Tohari menceritakan budaya-budaya Jawa
lainnya, Elis kelihatan bengong. “Wah, ternyata masih ada budaya Jawa yang
lainnya, yah?” katanya spontan.
Begitu diskusi diantara kami bertiga sampai pada
budaya Banyumas, Elis malah kelihatan lebih heran lagi. Seperti muncul kesan bahwa
dia baru mendengar khasanah budaya Banyumas. Akhirnya kami semakin larut
berdiskusi mengenai budaya Banyumas. Sesekali, Elis kelihatan begitu lahap
menyantap mendhoan (makanan khas Banyumas).
Saya, Elizabeth, dan Ahmad Tohari |
Saya kemudian bertanya kepada Elis, kenapa ingin
membuat buku tentang budaya Indonesia. “Karena Indonesia itu kaya akan budaya
warisan leluhur. Karena itu saya ingin membuat karya tentang budaya yang ada di
dunia ini, termasuk budaya Indonesia,” jawabnya ringan, tapi penuh makna.
Kemudian dia melanjutkan ucapannya bahwa Indonesia
itu mempunyai banyak ragam budaya, suku, bahasa, dan ras, namun tetap bersatu. Masyarakat
Indonesia mampu saling menghormati antara satu dengan lainnya meski mereka
berbeda. Bahkan orang Indonesia itu sangat sadar bahwa perbedaan itu tidak perlu
diseragamkan. Semakin berbeda, tapi tetap semakin rukun dan kelihatan bagus.
Begitu Jumatan selesai, saya dan Elis dipersilahkan
masuk ke dalam rumah untuk menyantap makan siang. Lagi-lagi, Elis kelihatan
begitu senang. Ambil nasinya sedikit, tapi makan sayur kangkung dan mendhoan
tak berhenti.
Tak terasa sudah pukul 14.00 WIB. Saya pamit pulang
karena harus mengerjakan beberapa pekerjaan saya. Elis dan Pak Tohari kemudian
melanjutkan diskusi yang sempat terhenti itu ditemani istri Pak Tohari.
Sambil berjalan pulang, (kebetulan rumah saya tidak
jauh dari rumah Pak Tohari) saya membatin; “Koq malah orang luar negeri yang
peduli mendokumentasikan budaya Indonesia?. Masa anak cucu saya besok kalau mau
belajar budaya sendiri mesti harus ke luar negeri?”
Siti Rofiqoh
Tentang Penulis Tamu:
Sastrawan yang Lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Kabupaten Banyumas tahun 1975. Pecinta budaya, dan telah menulis dua buah novel berjudul “Nayla” dan “Perempuan Kedua”. Sekarang bekerja sebagai redaktur di Majalah lokal berbahasa Banyumasan “ANCAS”
Sastrawan yang Lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Kabupaten Banyumas tahun 1975. Pecinta budaya, dan telah menulis dua buah novel berjudul “Nayla” dan “Perempuan Kedua”. Sekarang bekerja sebagai redaktur di Majalah lokal berbahasa Banyumasan “ANCAS”
ini kiriman ya pak??
ReplyDeletemaaf jujur saya belum baca sampe kelar (o) .
iya betul, Miz? ini tulisan kiriman dari pengunjung blog ini. mau ngirimm juga?
ReplyDeletesupaya tetap bisa dilestarikan ya budanya indonesia. tapi kalau bisa jangan cuma dibukukan harus ada cara yang nyata untuk terus melestarikannya ya pak
ReplyDeleteada yang mau membukukan budaya kita saja saya kira kita sudah beruntung bu? Cuma ya itu, kenapa harus orang luar? Seharusnya, kalau bicara kewajiban, pihat pertama yang harus melakukannya adalah pemerintah. tapi ya kita tau sendiri. coba Mba Lidya cari literatur berupa buku tentang budaya yang ada di daerah Mbak sendiri, kira2 ada nggak?
DeleteBanyak orang luar Indonesia yang lebih Indonesia ketimbang orang Indonesia. Patut menjadi contoh agar kita lebih bangga dan menghargai budaya kita sendiri. :)
ReplyDeletesaya kira orang luar itu lebih punya banyak amunisi untuk melakukan apa yang seperti Elizabeth lakukan. Bagi kita, barangkali sekedar mencintai budaya saja itu sudah barang yang mahal dan langka. Menjadi blogger juga mungkin cara yang bagus untuk mendokumentasikan budaya kita..
DeleteSemoga saja dengan adanya artikel tulisan ini membuat masyarakat Indoensia lebih mau dan banyak menggali sert a memperkenalkan budaya dn tradisi bangsanya, agar nanti suatu saat bangsa ini bukan belajar dari bangsa lain untuk buadaya bangsanya sendiri,
ReplyDeleteSalam kenal dan dukses ya Kang.
Salam
Ejawantah's Blog
Setidaknya kita sebagai blogger tergerak untuk mencatatkan atau setidaknya mendokumentasikan pada postingan kita tentang budaya yang ada di daerah kita masing-masing. Kasus klaim beberapa karya budaya oleh Malaysia adalah bukti kongkrit bahwa pihak yang berwajib sekalipun (pemerintah) sepertinya enggan untuk mengurusi soal dokumentasi kebudayaann kita.
DeleteOk sob, salam kenal kembali...
bangga, tapi juga miris. ;-( Di saat kaum muda Indonesia malah gandrung budaya luar, orang luar justru menghargai budaya kita. nggak bisa nyalahin malaysia juga sih ya, kalau mereka lebih menghargai kebudayaan kita. kitanya sndiri cuek sih ya -___-
ReplyDeletebetul mbak, sebenarnya kita bloeh2 saja menggandrungi budaya luar dan itu tidak salah. Namun, semestinyalah kita lebih mencintai budaya kita sendiri..salam:)
Deletesebetulnya miris juga ya krn yg lebih tertarik utk membukukan budaya dan segala hal keindahan indonesia itu org luar.. Tp pernah bbrp kali suami sy mencari2 buku ttg batik Indonesia. yang 1 bukunya harganya termasuk mahal mnrt saya. Sy pikir tadinya untuk koleksi org luar, ternyata kata suami yg pesan org kita juga tp suka mengkoleksi buku2 ttg Indonesia.. Jadi tambah kagum sy dengernya kl ada org kita yg sangat peduli dg budayanya sendiri
ReplyDeletesetidaknya dari menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya kita dulu mbak? Cinta itu tumbuh jika kita mengetahuinya. Mengetahui tentu kita harus membaca. nah kembali lagi, jika orang luar yang membukukan budaya kita, itu artinya kita belajar sama orang yang dalam sejarah bukan bagian dari kita. karena itu, kita perlu menghargai dan mengapresiasi jika ada orang-orang kita sendiri yang berani mendokumentasikan budaya kita. salam:)
ReplyDeletePerang budaya itu sebenarnya lebih gawat, Sekarang orang lebih percaya diri dengan bahasa asing dari pada bahasa indonesia. Bahkan pemimpin kita kadang menyelipkan bahasa asing saat berpidato. Bagaimana rakyatnya akan bangga dengan bahasanya sendiri jika pemimpin saja tidak memberikan contoh ? Salam untuk sang penulis !
ReplyDeletebetul banget tuh sob? Ok nanti saya sampaikan salamnya
Deletewaahh sekarang ada penulis tamu juga nih Kang hhh makin manteb saja dulur satu ini. maaf telat silaturahimnya.
ReplyDeleteSaya pernah berpikir sederhana, kenapa sih orang bule itu kalo mempelajari sesuatu lebih intens, serius dan komperhensip?
pertama, pola pikir mereka sejak usia dini (sekolah) telah diajarkan bagaimana memecahkan masalah lebih spesifik, dan pola belajar yang tidak seperti di negara kita yaitu semua dalam satu sehingga hasilnya nggrambyang.
kedua, orang-orang sepeti Mbak Elis (hhh make mbak) melakukan hal itu disamping karena panggilan hati, juga tidak direpotkan mikir mencari kebutuhan sehari-hari. Secara ekonomi sudah baik, tinggal melakukan hal-hal lainnya yang bisa memberikan kemanfaatan untuk dirinya dan orang lain. Apalagi memiliki hasil karya, adalah sebuah kebanggaan
selain mempelajari sesuatu secara lebih intens, apa yang mereka pelajari biasanya juga dihargai. dengan demikian mereka merasa tidak sia-sia belajar sesuatu itu.
Deletesaya kira, di Indonesia juga banyak orang yang tidak direpotkan dengan urusan uang toh kang mas? Tapi ya tetep saja, koq jika ada orang yang peduli dengan budaya, malah orang yang biasanya tiada berpunya?
keren ya... jadi termotivasi nih :) kenapa nggak dari bangsa sendiri....
ReplyDeletekenapa juga Mba Nurmayanti tidak segera memulainya?
Deletesampai mrinding saya,,ada bule yang sangat tertarik dengan budaya kita,,
ReplyDeletesaya bangga menjadi bangsa indonesia,,
benar sekali artikelnya sangat memotivasi saya,,, terimakasih artikelnya kawan..
kalau saya nggak merinding kawan, tapi ngenes. Miris, dan naif jika kita melihat kenyataan betapa kaya nya kita dengan aneka budaya, namun baru geger ketika ada yang mengklaim budaya kita. Kemane aje pemerintah kita??
DeleteSalam Kenal Kang
ReplyDeleteini kunjungan pertama seingatku
Salut sama Elzabeth Pisani, sekaligus malu
aku hanya bisa menampilkan di blogg saja tentang Indonesia, belum ada rencana membukukan.
ijin joint di blogg ini Kang
Salam kenal juga kang, terimakasih sudah mampir. Blognya pake bahasa Inggris tuh yah? Saya kira lebih baik meski baru bisa mencatatkannya di blog. Salam :)
Deleteorang lain pun peduli dengan budaya kita, mengapa kita tidak?
ReplyDeletesilahkan kalau berkenan terima award dari saya bang http://dirgabsc.blogspot.com/2013/01/sunshine-award-simbol-tali-persahabatan.html terima kasih.
bule cinta jakarta ini namanya :D
ReplyDeletehipnoterapi surabaya