Tweet |
Malam seperti tak pernah lelah melukis wajahnya
sendiri. Nyala bulan yang benderang membuat tubuhnya tampak jelas telanjang. Bintang-bintang
itu, meski kalah beradu cahaya, namun tetap genit dengan kedipannya. Pucuk-pucuk
pinus di atas bukit bersatu membentuk sebuah gunung. Puncaknya hampir menyentuh
wajah langit yang sedang tergesa-gesa mengecat mukanya dengan biru laut. Ada
segumpal lamuk perlahan menjauh dari kecantikan malam bersama angin utara yang
berhembus berat.
Sementara jauh di bawah langit, sekumpulan kalong
terbang rendah menyambar jambu air yang tampak mulai memerah. Sesekali
buah-buah itu jatuh ke tanah. Angin yang berhembus pelan membuat keringat anak-anak
mengendap setelah bermain petak umpet. Aroma tembakau menyebar dari mulut orang
tua yang tak henti-hentinya menghisap rokok lintingan tembakau dan kemenyan di
teras-teras rumah.
Namun, di bagian langit yang lain, malam tampak
malas merias dirinya. Asap-asap hitam yang dilahirkan cerobong pabrik tak
henti-hentinya menyiksa. Kian hari kian banyak gedung-gedung yang menantang
langit dengan cakarnya. Bulan juga enggan menampakan tubuhnya. Bintang-bintang
terlelap diantara kedip lampu-lampu kota. Di jalanan, orang-orang lalu lalang menantang
maut. Jembatan penyeberangan dirasa hanya menyita waktu. Demikian tersirat dari
wajah-wajah yang tampak lelah dan bergegas.
Belantara kota hanya menyisakan resah.
Coretan-coretan di dinding tak bertuan kian menambah gelisah dengan makna yang
terkandung di dalamnya. Toko-toko berkaca dengan berbagai barang seantiasa
memprovokasi siapapun yang lewat di depannya. Provokasi yang manjur haya bagi
yang ber-uang. Sementara yang tidak, hanya mampu memilikinya lewat mimpi, pun
dengan tidur yang gelisah.
Puntung rokok berserakan di dekat kedua kakinya.
Matanya tak pernah berhenti memandangi kendaraan dengan klakson yang
mengagetkan. Sumpah serapah meluncur dari bibirnya. Lima tahun di kota, tak
satu pun malam membaginya rasa tenang. Sekedar merokok pun harus menyumpahi
orang. Ratusan baliho dengan berbagai gambar penguasa kota menambah kotor suatu
tempat yang entah kenapa dinamakan kota. Belum lagi mimpi-mimpi yang dituliskan
di samping baliho bergambar orang yang seolah-olah tahu dan ahli benar menyulap
wajah kota menjadi wajah perawan.
Ia mencoba mengisi separuh otaknya dengan menggali
ribuan kenangan yang ia tabung dalam ingatan. Ketika jarum jam bertumpukan di
atas angka satu, sesosok perempuan setengah baya berhasil mengisi ruang
otaknya. Seketika, dan kali pertama dalam hidupnya, ia ambruk di ujung kaki
perempuan itu. Sekali itu pula, air matanya jatuh di ujung kuku perempuan yang
datang dari beribu tumpukan kenangan dalam ingatan. Ruang ditelinganya hening.
Klakson-klakson hanya menyalak setengah. Lampu-lampu, lalu-lalang, lalu lintas,
juga sumpah serapah terbungkam karena kehadiran perempuan setengah baya dimana
kerinduannya pernah ia tuangkan dalam sebentuk puisi, yang menurutnya adalah
puisi paling bersejarah dalam sejarah perjalanan hidupnya.
Mungkin aku
pulang
Mungkin tidak
Aku belum
sampai tujuan
Dan masih
memilih jalan
Maaf, doa
yang kau peras dari puting pertiga malam, aku buang
Usah kerap
berharap. Sebab,
tetap saja
kampung halaman adalah tanah pemberhentian
Dari ribuan
mil perjalanan
Dan aku tahu,
kau tetaplah
tubuh yang mengeram sorga
Yang pada
kedua kakinya, aku membungkukan dada”
Detail kata dalam puisi itu melintas di matanya.
Dan malam ini, untuk kali pertama, dalam arti yang sesungguhnya, matanya beradu
dengan bola mata teduh perempuan yang kini mempersembahkan senyum untuknya.
Lakon ini tak pernah pentas, meski dalam mimpi sekalipun. Karenanya, sesekali
sambil merengkuh tubuh perempuan itu, ia cubit bagian tubuhnya sendiri.
Berharap episode ini benar-benar tayang dalam hidupnya.
Seperempat abad silam, seorang perempuan muda
melahirkan anak lelaki dan diberi nama Komang. Dari ujung kepala hingga lutut
tampak sempurna. Namun, kedua telapak kakinya pengkor. Kata dukun setempat, itu
adalah tulah atas perbuatan bapaknya karena menangkap dan membunuh ayam alas
dengan cara dipuntir kedua kakinya hingga mati. Dengan kuning parutan kunir, si
mbah tak henti-hentinya mengurut kedua kaki cucunya yang pengkor itu, hingga
suatu hari, ketika si jantan peliaraannya dewasa, keajaiban datang menyembuhkan
pengkor kaki sang cucu. Dan, disembelihlah si jantan sebagai rasa syukur kepada
alam.
Itu adalah satu-satunya bagian cerita masa kecilnya
yang ia pernah dengar. Mungkin benar, tapi mugkin juga salah. Sebab, hingga
menjelang keberangkatannya ke kota, dan hingga umurnya menginjak angka dua
puluh lima, ibu dan bapaknya tak pernah bercerita. Pernah pada suatu hari, guru
bahasa Indonesia meminta dia untuk menuliskan karangan bebas berjudul “Masa
Kecilku”. Bukan kepalang terkejutnya si guru ini. Pada kalimat pertama berbunyi
seperti ini; Pada suatu hari, lahirlah saya, dalam kurung dua puluh tahun
kemudian. Terang saja si guru berang. Tak ada satu kalimatpun yang menandai
masa kecil si murid ini. Dua puluh tahun kemudian bukanlah umur masa kecil
lagi. Katanya pada si Komang…(bersambung)
kata2nya suah dicernaaaa.. :p
ReplyDeletemaklum aq kan bukan anak sastra
@rivaihanya catatan sederhana koq mas? makasih udah mampir. salam:)
ReplyDeletekayanya aku harus baca ulang nih besok mas, supaya lebih fres bacanya jadi bisa langsung mengerti :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete@Lidya - Mama Cal-Vinhanya testimoni mbak? Kalau banyak komen yang merasa susah mengertinya, rencananya cerita di atas akan saya bikin novel.
ReplyDeleteWaah keren, mas Ibrahim jago nulis fiksi ya, gak diikutkan lomba, mas?
ReplyDelete@Mugniarikut lomba? wah, denger kata lomba saja saya minder mbak, apalagi ikut? makasih udah mampir. salam:)
ReplyDeleteTerhanyut membacanya. Indah sekali rangkaian kalimatnya. Pilihan kata2nya bagus. Puisinya itu lhoo... ya mapuun.. keren banget...
ReplyDeleteNunggu lanjutannya aah...
@Niken Kusumowardhani
ReplyDeleteeh typo... maksudnya ya ampuun...
huhuuuuu bersambung, kerennn pemilihan kata dan kalimatnya indah sangat pak :)
ReplyDeleteharus banyak belajar disini nih...selamat pagi slmt beraktifitas :)
@Niken KusumowardhaniMakacih mbak, cerita di atas akan terus bersambung. Jika suka, akan saya terus postingkan kelanjutannya. Salam:)
ReplyDelete@IrmaSenjaBersambung mbak, cerita di atas akan menjadi sebuah proyek buku saya. Insya Allah. Doakan saja, saya dapat membagi bukunya gratis buat mbak Irma. Selamat beraktifitas juga, sukses selalu. Amin. Salam:)
ReplyDeletebiyuh biyuh .. uapik tenan Kang. Wis seperti nopel membentuk garis air mengalir dengan tenang dengan membawa makna di setiap tetesnya. Sampai akhir kalimat, menyisakan beribu tanda tanya, gimana-gimana kelanjutannya, apa yang akan terjadi. Saya rasa ini akan menjadi episode bersambung yang sangat menarik dan kompleks mewakili kondisi kekinian dan masalah-masalah sosial tersirat di dalamnya.
ReplyDeleteSaya do'akan ini akan menjadi bagian yang selama Kang Ibrahim cita-citakan. Dan satu pesan saya, jangan sekali-kali membuang do'a di sepertiga malam.
kata kata yang bagus sobat, terimakasih atas kunjungannya di blog sederhana saya sobat, salam kenal :)
ReplyDeleteperlu imajinasi tingkat tinggi nih buat terjemahkan artinya,.. salam kenal mas,.. fllw back yah
ReplyDeleteMau dengan jambu airnya... jambunya mana? :)
ReplyDeletewah fontnya keren bgt.. tapi agak sulit buat dibaca nih. hehee..:)
ReplyDelete@Djangan Pakies Net Terima kasih kang, yang jelas seperti yang saya bilang bahwa tulisan di atas yang mirip karya satra itu adalah tulisan-tulisan saya dulu yang pernah saya buang, dan sedang saya kumpulkan kembali untuk proyek pribadi saya. Terima kasih juga doanya. sukses buat juga Panjenengan:)
ReplyDelete@Herman Bagussama-sama sob? Sukses buat blognya...:)
ReplyDelete@Rahmat Hidayatwah imajinasi tingkat tinggi? padahal tulisan sederhana lho mas? ok salam kenal balik. siap meluncur ke blog sobat...
ReplyDelete@f4dLy :)Jambu airnya habis sama kalong mas? kalong kan sukanya di desa, seperti saya yang hidup di desa. hehe...salam:)
ReplyDelete@SupercoolzzItu font bawaan templat mas, saya tidak bisa menggantinya karena saya ini tidak pintar utak-atik html blog bgitu? salam:)
ReplyDelete@Ayas Tasli WigunaSemoga tidak membatasi imajinasimu kawan? siap melanjutkan cerita berikutnya. Salam:)
ReplyDeleteAsyiiikkk,...ayo selesaikan proyek bukunya mas,dan dgn senang hati saya akan menerima bukunya :D
ReplyDeleteSaya suka cara mas Ibrahim memainkan kata menjadi kalimat.
Hemmm, pertanyaan mas ibrahim dikolom komentar saya, sudah saya jawab :)
terima kasih y mas,...#celingukan nyari postingan baru#
.. puisi nya,, mantavVv jaya. he..86x. oia tuch kok bersambung c?!? huhh ..
ReplyDeletehhmm.. mantep banget tulisannya... memang sih sepakat dengan yang diatas kalau susah untuk memahaminya he he
ReplyDelete@♥VPie◥♀◤MahaDhifa♥Makasih mbak? tapi kayaknya banyak komen yang susah memahami tulisan di atas nih? Kemungkinan tidak akan tayang lagi kelanjutannya.
ReplyDelete@pay muh gubugKalau susah memahami, tunggu edisi cetaknya aja yah? makasih udah mampir...
ReplyDelete