Tweet |
Wahai lelaki setengah baya, lewat hujan yang angkuh
ini, aku memohon ceritakanlah kembali. Riwayat yang indah waktu kau muda dahulu,
karena ku takkan pernah bosan mendengar keperkasaanmu. Menantang nasib,
memperbaiki hidup. Kau tahu, kau dapat merindukan, kau dapat mengenangkan,
meski waktu terus berlalu hingga ke anak cucu. Lihatlah menantu perempuanmu
yang kau ajari memasak dulu, kini dia kerap bernyanyi tentang sambal yang kau
buat dari pohon burus. Dan aku yang kini jatuh merindukan aroma tembakau dan
kemenyan dari asap rokokmu.
Kau, tetaplah pahlawan bagiku |
Aku percaya, dalam sejarah, orang tak mesti harus jadi
pahlawan. Sebab, serpihan kisah yang kau titipkan kepada senja dulu, adalah
bagian dari sejarah yang tak pernah menyebutkan sosokmu sebagai pahlawan. Meski
ku cari namamu di berbagai perpustakaan. Di catatan-catatan kaki buku
pelajaran, atau di setiap prasasti, tak satu pun menyebutkan. Hanya di sebuah tugu
di palung hatiku ku temukan, namamu terukir berjuluk pahlawan. Tanpa taggal,
tanpa tahun. Hanya disertai keterangan berupa pertanyaan yang kokoh di samping
namamu, dan makin membekas di ingatanku, “Apakah bila terlanjur salah, akan
tetap dianggap salah?”
Dan malam ini, aku meraba-raba, mengira-ira jawaban
yang mungkin kau lontarkan jika kelak ada perjumpaan. Namun, aku tidak akan
mencatatkannya di atas kertas, atau dibalik tanggalan seperti yang kau lakukan
ketika menghitung peruntungan. Hanya akan aku bekaskan pada ingatan. Semoga
waktu sudi mengembalikan. Sesungguhnyalah aku menangis sangat lama. Namun aku
pendam, agar engkau bekerja dengan tenang. Sesungguhnyalah, aku merasa belum
cukup berbakti. Namun aku yakin engkau telah memaafkanku.
Karena itu, tolonglah aku. Hujan ini selaksa
menjelma menjadi magma. Mengulitiku hingga belulang. Aku jatuh. Ambruk ke
tanah. Menghiba pada apapun itu, agar aku bisa mencium keningmu. Basuhlah
wajahku dengan keringatmu. Aku tak akan menyalahkanmu. Juga alam yang telah
melahirkanku. Padangi jalanku dengan doa yang pernah kau ajarkan dulu. Tapi,
sudahlah, kita sama-sama lelaki.
Ah, apakah engkau sudah memotong rambutmu, seperti
pinta istrimu ketika sebagian rambutmu menutupi telinga dulu? Bacalah, aku
pernah menuliskan kerinduan ini pada ibu, pada istrimu. Dan malam ini, rinduku
kepadamu diiringi rasa sesal kenapa aku ini belum sanggup membuatmu nyaman
menikmati hari yang sebentar lagi tua. Jalan ini, mungkin, dan aku yakin, tak
pernah ingin kau pilih untuk kau lalui. Namun, itulah hidup. Bukankah kau kerap
bicara bahwa hidup adalah sebuah pilihan, dahulu, sebelum aku beranak-istri?
Ah, andai saja penyesalan mendahului kejadian, mungkin bukan jalan ini yang aku
pilih. Bukan pula jalan yang sedang kau lalui sekarang.
Selamat malam, ayah, atau mungkin pagi!
Pinggir Kali Klawing, 01:30, 3 Desember 2012.
arti ayah?? banyak banget , dia sosok pria yang kuat, dan tetap tegar, dia tak pernah terlihat murung meskipun dalam hatinya selalu mikir masa dpn anaknya
ReplyDeleteaku jg pernah bikin artikel tentang papah :) .
yup betul kawan, tinggal bagaimana kita menghormati, berbakti dan menghargainya....salam :)
Deletetulisannya bagus kawan,,
ReplyDeleteseorang ayah adalah tulang punggung dari keluarga,,
semangaaaat ayaaahhh....
terima kasih kawan? Mari kita sama2 berdoa untuk ayah kita. Trims sudah berkunjung (h)
Deleteyuk mari doakan ayah kita semua....
ReplyDeleteMari...
DeleteDo'a untuk ayah :)
ReplyDeleteTulisannya bagus mas,mengalir...
Kunjungan siang yang bermanfaat ^^
makasih atas kunjungannya mbak? Tulisan di atas adalah sebuah percikan kerinduan seorang anak terhadap ayah. salam:)
Deleteayah,...dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi....*sing a song
ReplyDeletenyanyinya di dalam hutan atau sawah tuh mbak?
Deletehidup memang sebuah pilihan,artikel yg bagus sobat,terima kasih sudah berbagi
ReplyDeleteya begitulah sob? Banyak pilihan sebenarnya. Namun terkadang di tengah jalan sepertinya kita kadang berfikir "Apakah memang ini pilihan hidup kita?" Terima kasih atas kunjungannya.
DeleteTapi kok nggak ada hari Ayah ya???
ReplyDelete(g nyambung ya?)hehe...
Kata2nya sangat menyentuh.
Jadi inget ortu yg di kampung...
Dah 5 tahun g pernah pulkam.... :(
sesekali pulanglah ke kampung mbak, karena bagaimanapun jauhnya perjalanan kita, tetap saja kampung halaman adalah tanah pemberhentian yang terahir.
Deletebeliau berkata keras kepada kita. percayalah, di hatinya menyimpan rasa sesal kenapa harus berkata keras. tapi di balik itu, dia ingin anaknya menjadi seorang yang mandiri dan kuat sepertinya.
ReplyDeletetulisan di atas dengan style prosa liris, sangat enak dinikmati. mengalir perlahan, membuat pembaca betah.
demikianlah yang saya rasakan ketika sekarang ini telah menjadi sosok ayah. kerap berlaku atau berkata keras kepada anak, namun sejatinya saya menginginkan si anak menjadi orang yang benar..terimakasih mas, udah mampir. Salam..
Deletetegar, itulah sosok seorang ayah. udah gitu aja
ReplyDeleteJika sobat suatu saat jadi seorang ayah, tentu harus menjadi ayah yang tegar pula. Mudah dikatakan mas, namun sejatinya susah dilaksanakan seperti diriku ini. salam..
DeleteWow puitis amat, mas :)
ReplyDeletebahkan saya sendiri tidak paham puitis itu apa loh mba? tapi makasih udah mampir..salam
Deleteayah itu.. pahlawan untuk anak & istrinya.. hehe :P
ReplyDeletebenarkah demikian, kawan?
ReplyDelete