Masyarakat Blangkon


Saya pernah menuliskan tentang pemandangan alam yang indah di desa saya beberapa waktu lalu dengan judul Dagan, I’m in Love. Tulisan yang lebih bersifat curhat belaka itu hanya berisi tentang beberapa foto-foto pemandangan alam yang bagi saya selalu membuat kagum terhadap zat bernama Tuhan. Kali ini saya akan menuliskan beberapa hal yang akhir-akhir ini membuat saya galau. Tiada lain, adalah pola pikir dan cara pandang penduduk atau masyarakat desa di mana saya tinggal, sepertinya mulai bergeser. Kesederhanaan, kejujuran, dan keterbukaan yang pada awalnya saya bangga-banggakan sebagai masyarakat desa, ternyata harus patah dan ambruk ketika berhadapan dengan realitas zaman. Dan hal ini sekaligus berbanding terbalik dengan keindahan-keindahan alam yang selalu menyimpan kejujuran pada dirinya sendiri. Hal yang paling mencolok adalah kegemaran budaya menggosip. Kita, atau saya memang tak perlu terkejut dengan budaya yang satu ini. Akan tetapi, bagi masyarakat desa saya sendiri, kadar atau intensitas menggosip ini sepertinya semakin menebal. Padahal, hampir setiap waktu shalat tiba, mereka berbondong-bondong menuju rumah Tuhan.

Yang kedua soal cara pandang. Ini yang semakin membuat saya trenyuh. Misalnya cara pandang berpolitik pada sebuah hajatan politik desa bernama Pilkades. Beberapa waktu lalu, ada pergantian kepala desa di desa saya. Setidaknya ada enam calon yang bertarung memperebutkan kursi kepala desa. Dan calon kepala desa yang saya pilih ternyata kalah. Bagi saya bukan sebuah masalah karena pasca terpilih kepala desa yang baru, saya berusaha tetap menjalin silaturahim dan komunikasi seperti semula dengan masyarakat yang punya pilihan calon kepala desa masing-masing. Namun sangat disayangkan ada beberapa masyarakat yang hingga detik ini sepertinya susah untuk berkomunikasi seperti semula. Bahkan, saya yang selalu mencoba untuk mendahului sekedar menyapa dengan salam, pun mereka masih membuang muka. Bahkan sama sekali tidak menjawab sapaan saya.

Ketiga, pola hidup konsumerisme. Ini yang paling parah. Ceritanya, ada beberapa penduduk atau tetangga yang membeli perabotan rumah baru beberapa waktu lalu. Saya tidak menyangka sama sekali bahwa komentar-komentar atau gosip-gosip yang muncul sangat memojokan penduduk yang baru membeli perabotan rumah baru tersebut. Saya membatin, apa yang salah dengan membeli perabotan rumah, hanya karena dalam perspektif mereka, tetangga yang membeli perabotan rumah baru tersebut sejatinya tidak mampu untuk membelinya? Tak pelak, hal ini kemudian memunculkan rasa iri yang pada akhirnya justru menimbulkan semacam perlombaan untuk membeli barang-barang baru sebagai identitas bahwa dia atau mereka lebih mampu dari yang lainnya.

Ke empat, soal pandangan keberagamaan. Pada suatu malam ketika berkumpul dan duduk-duduk bersama tetangga di salah satu teras rumah tetangga, saya berdepat soal cara pandang keberagamaan. Jujur saja, mayoritas penduduk di desa saya berhaluan ahli sunnah wal jama’ah. Perdebatan tersebut berkutat pada benar atau tidaknya golongan-golongan agama di luar golongan mayoritas di desa saya itu. Saya berpegang teguh bahwa, golongan-golongan agama di luar golongan agama mayoritas di desa saya itu benar menurut para penganutnya. Akan tetapi, mereka tetap saja berkilah bahwa merekalah (golongan mayoritas) yang selalu merasa benar. Sampai di sini saya dapat menyimpulkan cara pandang keberagamaan mereka.

Ke lima, penghormatan terhadap mereka yang punya kedudukan. Saya sejatinya sangat muak dengan hal ini. Mereka yang punya kedudukan di masyarakat kerap di unggul-unggulkan secara berlebihan. Sedang yang tidak punya kedudukan tak jarang dipandang sebelah mata. Padahal, yang tidak punya kedudukan, atau katakanlah yang miskin, pun punya andil cukup besar dalam kehidupan orang-orang yang punya kedudukan. Misalnya, selalu bersedia mengolah sawah kepunyaan mereka dengan imbalan seadanya. Karena itu, saya lebih familier dengan orang-orang yang tidak punya kedudukan. Mengingat, saya sendiri bukanlah apa-apa di masayarakat desa saya itu.

Atas pergesaran cara pandang dan pola pikir masyarakat desa yang demikian ini, saya jadi teringat sebuah jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan kepada salah satu bule kenalan saya yang berasal dari London, Inggris. Waktu itu saya bertanya kepadanya begini; what do do you think of the Indonesian people. Bule yang mengenalkan namanya Neil itu menjawab cukup singkat; Blangkon!

Lantas saya berfikir; blangkon itu maksudnya apa? Saya baru ngeh ketika saya mengamatai blangkon (penutup kepala tradisional khas Jawa). Ternyata, blangkon khas jawa itu selalu ada benjolan kecil di bagian belakangnya menyerupai kepalan tengan. Jadi saya berkesimpulan bahwa; orang Indonesia itu seperti blangkon. Di depan bila iya, di belakang bilang tidak. Di depan membuka tangan, di belakang mengepalkan tangan. Tetapi saya agak percaya bahwa jawaban si bule itu tidak lain adalah jawaban yang secara tidak langsung merendahkan masyarakat Indonesia, karena dia merasa berasal dari Negara maju. Sebab, saya yakin se yakin-yakinnya bahwa tidak semua masyarakat Indonesia seperti blangkon. Tetapi fakta-fakta pola pikir masyarakat di desa saya yang saya tuliskan di atas bukankah benar-benar menyerupai blangkon? Dan bukankah desa saya itu juga bagian dari Indonesia? 

18 comments:

  1. wah baru abis pemilihan desa rupanya; Klo disini pemilihan Bupati mas.. hehehe..

    Betul ituu,, bukan saja di desa mas,, disini pun di kelurahan saya, wah yang namanya Menggosip itu seakan2 seperti tradisi dari nenek moyang. dan makin hari makin ada terus bahan yang mau digosipkan,, apa ini mereka terobsesi dengan tayangan2 di TV yah,, emang kurang kerjaan orang2 yang suka menggosip @@,

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya nih Bang, tapi calon kades yang sy dukung kalah...hehe...klo menggosip yang positif sy kira ndak masalah bang, tp seringnya masyarakat di desa sy itu ngomongin orang di belakang...

      Delete
  2. tipe masyarakat di desa njenengan saya rasa juga terjadi di kampung halaman saya, namun dalam kurun 15 tahun terakhir pola pikir semacam itu sudah mulai ada pergeseran meski sebagaian diantara mereka masih memegang prinsip itu.

    point masalah pandangan keberagamaan, memberikan inspirasi saya untuk menulisnya Kang. Terima kasih telah meletupkan ide ini. Semoga terwujud menjadi tulisan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. apakah kurun 15 tahun ini desa kang Jangkies sudah jadi kota Kang? Sehingga intensitas menggosip sudah kembali ke wilayah privat masing2 penduduk? Jika demikian, sy kira bukan desa lagi namanya kang? Syukur dech klo postingan ini memberi inspirasi buat panjenengan. Saya tunggu postingan soal keberagamaannya.

      Delete
  3. Replies
    1. Blangkon kan gitu mbak? Mbendhol mburi...hehe..

      Delete
  4. sebelum melanjutkan, saya mo tanya berapa lama akang jadi orang desa?pernah merantau/sekolah/kuliah/luar negeri mungkin?

    persis begitu adanya, saya sehari hari bergaul dengan mereka masyarakat desa, ngga dipungkiri memang begitulah orang desa, utamanya sdm mereka memang minus dan lebih banyak terkontaminasi oleh tayangan TV/sinetron, sebagai sarana mereka.
    masalahnya sudah terurai diatas, kewajiban kita turut membantu mereka..hayo..apa kiranya yang bisa kita perbuat untuk mereka. agar si bule tidak lagi menyebut "blangkon" pada kita manusia E(i)ndonesia

    ReplyDelete
    Replies
    1. sejak dari kandungan sy hidup di desa Kang? hanya tujuh tahun di kota. dan skrng sudah balik ke desa lagi. Sy sebenarnya juga memaklumi persoalan di atas. akan tetapi jika kemudian kita mengidentifikasi diri sebagai orang yang beragama, sy kira kulutur menggosip dan membicarakan orang di belakang tidak patut diteruskan. Nah itu dia kang, sy sangat ragu jika sy bisa berdiri sebagai penjaga moral di desa saya...sekedar curhat saja kang?

      Delete
  5. kalau dulu didesa-desa rasa kekeluargaannya antar tetangga begitu kendal dan erat ya, entahlah saat ini rasanya sudah mulai berkurang

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, kemungkinan karena SDM. Tapi sy lebih sepakat karena faktor TV...

      Delete
  6. Wuihh...paparan kata2 yg membuka pikiran saya. lanjutkan mas :-bd

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak mau lanjut ah mbak? Soalnya banyak yang korupsi. jadi hentikan saja ya? hehe...

      Delete
  7. hanya Blogwalking + nyimak artikel menarik lainnya...

    ReplyDelete
  8. bagus banget mas postingannya..... nyimak aja deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. judulnya pelajaran menyimak ya Mang? jangan lupa kertas sama Bolpoinnya yah? hehe...atur nuhun mang?

      Delete
  9. faktor tv dan social media mempengaruhi pergeseran nilai2

    ReplyDelete
  10. jadi imjget sahabat saya yg sukanya pake blangkon dan terlihat khas jawanya semakin menambah wibawa

    hehe

    ReplyDelete