ANCAS, Manifes Kampanye Think Global, Act Local


Sobat tentu tidak asing dengan slogan “Think Global, Act Local”. Terjemahan bebasnya adalah, “Berpikir Global, Bertindak Lokal”. Slogan ini mencuat beberapa tahun yang lalu ketika banyak kelompok terutama kelompok budayawan di negeri ini yang kian hari kian gelisah dengan pengaruh globalisasi yang semakin deras. Mereka menyoroti tentang semakin tergusurnya budaya lokal akibat pengaruh globalisasi. Mereka kemudian gencar melakukan kampanye tentang kearifan lokal. Dengan kata lain, nilai-nilai lokalitas di setiap daerah di Indonesia perlu dijaga meski mendapat serangan yang dahsyat dari era yang bernama globalisasi. Era ini menurut mereka tidak mungkin mampu kita lawan. Sebaliknya, pengaruh-pengaruh era ini kian terasa menjadi nyata dengan semakin banyaknya budaya lokal yang tergusur alias ditinggalkan atau bahkan dilupakan oleh kita sendiri.  

Salah Satu Cover Majalah ANCAS
Di wilayah karsidenan Banyumas, tempat tinggal saya, pun sama. Kampanye “Think Global, Act Lokal” sempat didiskusikan oleh para budayawan pada acara-acara seminar di sekolah maupun di perguruan tinggi. Tidak terkecuali dengan budayawan Internasional asli Banyumas, Ahmad Tohari. Sebagai wujud dari slogan “Think Global, Act Local”, Ahmad Tohari bersama beberapa pecinta budaya Banyumasan mendirikan sebuah majalah lokal berbahasa Banyumasan dengan nama “ANCAS”. Majalah yang menggunakan bahasa Banyumasan itu terbit sejak bulan April tahun 2010 silam. Dan sampai dipenghujung tahun 2012 ini, majalah ANCAS tetap eksis menyuguhkan informasi kebudayaan, pendidikan, dengan format bahasa lokal Banyumasan.  Menurutnya, sudah saatnya slogan “Think Global, Act Local” harus dimanifestasikan dalam wujud yang kongkrit.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Ahmad Tohari, majalah lokal ini telah mempunyai pelanggan tetap sebanyak 5000 an pelanggan yang sebagian besar berasal dari kalangan pendidik, dan birokrasi. Penyebaran majalah ini pun tidak hanya terkonsentrasi di wilayah Banyumas semata, namun sudah menyebar di tiga kabupaten lain yang masih termasuk dalam karsidenan Banyumas seperti Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara. Bahkan, majalah ini juga menyebar di berbagai kelompok perantaun orang-orang Banyumas di luar wilayah Banyumas seperti di Kalimantan, Papua, Sumatra, dan Jakarta.

Majalah ini lebih menonjolkan corak bahasa Banyumasan. Menurut Ahmad Tohari yang juga penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu, bahasa lokal mengalami kemusnahan setiap tahunnya. Tidak terkecuali dengan bahasa Banyuamasan yang semakin jarang digunakan oleh generasi muda. Jika ini tidak segera diantisipasi, bukan tidak mungkin bahasa Banyumasan ini akan lenyap ditelan pengaruh besar globalisasi.

Nah sobat, apakah di daerah sobat juga ada pendokumentasian bahasa atau pelestarian budaya semacam majalah ANCAS? Kalau ada, berarti “Think Global, Act Local” tidak hanya menjadi slogan belaka.


9 comments:

  1. Budaya bangsa kita memang harus dilesterikan ditengah budaya asing yang semakin merajalela yang kebanyakan budaya asing tidak sesuai dengan agama serta budaya kita. Sebaiknya kita memang mengenalkan akan budaya bangsa kita kepada anak-anak kita sedari kecil sehingga anak kita serta generasi muda kita akan lebih menghargai budaya bangsa kita sendiri.

    Mohon dukungan dan bantuannya sobat untuk mengeKLIK G+1 dalam postingan saya mengenai IPHONE 5 GADGET IMPIAN semoga sobat berkenan membantu. Terima kasih sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih

    ReplyDelete
  2. Langkah Pak Tohari patut dijadikan teladan bagi orang-orang yang memiliki kontribusi luar biasa terhadap kepentingan umum di daerahnya. Sama halnya yang dilakukan Pak Dahlan Iskan ketika memimpin Jawa Post dengan berbagai gebrakan yang dilakukan untuk mengangkat berita lokal dengan munculnya aneka Radar yang tersebar di seluruh Indonesia. Juga munculnya TV lokal di Surabaya JTV yang kebanyakan berorak jawa timur, termasuk penggunaan bahasa lokalnya

    ReplyDelete
  3. Mas Ferry, memang harus dimulai dari diri kita untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya lokal. Karena jika kita tidak peduli, maka seharusnya kita jangan marah ketika Tor-tor atau tari lokal lainnya diklaim negara lain sebagai budaya mereka. Salam :)

    Benar, Pak Haji? usaha-usaha melestarikan budaya lokal harus terus kita giatkan, minimal dalam lingkaran keluarga kita terlebih dahulu. Pak Dahlan memang membuat tindakan kongkrit seperti Pak Tohari, dikala orang lain yang dalam tanda kutip mampu, tidak peduli dengan budaya sendiri. Salam Kang:)

    ReplyDelete
  4. ya smoga saja bukan sekedar slogan belaka, dan bersifat kooperatif ^_^ :D

    ReplyDelete
  5. Salut sama Pak Tohari dan para sahabat lainnya. Hmmm..., jadi teringat betapa saya suka membaca Ronggeng Dukuh Paruk-nya.

    ReplyDelete
  6. Miz Tia; Mari dimulai dari diri kita sendiri. Dari hal terkecil yang dapat kita lakukan. Salam:)
    Kang Akhmad; Kebetulan saya masuk menjadi awak untuk menggarap secara teknis majalah tersebut mas? Trims udah mampir di rumahkecilku. Punya Novel Ronggeng Dukuh Paruk versi Inggrisnya apa belum?

    ReplyDelete
  7. Saya pernah melihat atau sedikit membaca majalah ini, entah edisi keberapa, penting melestarikan budaya, jangan sampai budaya lokal hilang tertelan budaya luar yang jauh dari moral Indonesia. :)

    ReplyDelete
  8. memang butuh tindakan nyata pengruh media informasi yang tak terkendali jika tanpa filterisasi lama2 akan menghapus budaya kita

    ReplyDelete
  9. Kang Sukadi, alhamdulilah ANCAS masih bertahan hingga detik ini. Cobalah sesekali kalau sempat, mengirim tulisan buat majalah ini. Kang Rohmad, betul kang, harus ada tindakan riil. Tidak cuma Not Action Talk Only (NATO). Trims udah mampir ke rumah kecilku. Salam:)

    ReplyDelete