Cita-Cita Kecil Si Anak Desa


Pukul kosog dua tiga puluh dini hari ini, saya ngelilir (terjaga). Hendak melanjutkan mimpi, namun mata ini susah terpejam lagi. Alih-alih terpejam, suara gemericik air di belakang rumah, menambah kelopakku terbuka lebar. Belum lagi angin dingin yang begitu betah merayapi kedua kaki. Ditambah nyanyian jangkrik yang sumbang namun bersahaja. Semuanya seperti hendak mengusik ingatanku untuk kembali membuka kenangan-kenangan yang terkubur. Dan, ketika ribuan kenangan menari-nari kembali diingatanku, secepat kilat aku menuliskannya.

Cita-Cita Kecil si Anak Desa
Ah, masih ingatkah sobat tentang cita-cita sobat waktu kecil dulu? Saya yakin, sobat masih ingat. Bahkan mungkin cita-cita sedari kecil itu kini telah menjadi kenyataan. Menjadi dokter, polisi, tentara, pengusaha, atau apa pun cita-cita sobat waktu kecil dulu. Sama halnya seperti saya. Meski samar, saya masih ingat ketika guru SD saya dulu bertanya tentang cita-cita. Saya jawab, saya ingin menjadi guru. Namun, begitu duduk di bangku SMP, cita-cita saya berubah. Sepertinya waktu di bangku SMP, saya bercita-cita menjadi seorang Diplomat. Karena itu, wali kelas menekankan saya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Pun, cita-cita itu kembali berubah ketika saya duduk di bangku SMA. Saya ingin menjadi politikus waktu itu. Dan, semua cita-cita itu malah jadi berantakan ketika saya duduk di bangku kuliah. Singkat cerita, tidak ada satu pun cita-cita itu berbentuk, atau berwujud menjadi kenyataan. Menyedihkan…

Bertahun-tahun kemudian saya menggelandang di kota. Seperti tradisi di kampung saya, tidak afdol katanya ketika seorang pemuda desa hanya tinggal di rumah. Pun, masih sama. Saya tidak bisa menjadi seperti teman-teman saya yang sukses (tentu dalam kacamata orang desa) membawa banyak uang atau oleh-oleh ketika mudik lebaran. Di kota, saya malah tidak bisa fokus bekerja (menjadi gelandangan beneran). Perasaan gelisah, tingkah individualis, angkuh gedung-gedung tak bertuan, kerap memprovokasi hati dan fikiran untuk cepat-cepat meninggalkan kota yang kian hari kian menunjukan raut yang tidak ramah. Puncaknya, persis disepertiga malam seperti sepertiga malam ini, di lembar terahir buku diari saya, saya mencatatkan sebuah bait lagu yang dipopulerkan oleh Ebiet G Ade;

Aku pernah punya cita-cita
Hidup jadi petani kecil
Jauh di rumah desa
Dengan sawah di sekelilingku
Luas kebunku sehalaman
Kan ku Tanami buah dan sayuran
Dan di kandang belakang rumah
Ku pelihara bermacam-macam peliaraan

Aku pasti akan hidup tenang
Jauh dari bising kota yang kering dan kejam
Aku akan turun berkebun
Mengerjakan sawah ladangku sendiri
Dan menuai padi yang kuning beremas
Dengan istri dan anaku
Memang cita-citaku sederhana
Sebab aku terlahir dari desa

Istriku harus cantik, lincah, dan gesit
Tapi ia juga harus cerdik dan pintar
Siapa tahu nanti aku kan terpilih menjadi kepala desa
Kan ku bangkitkan semangat rakyatku
Dan ku bangun desaku

Desaku pun pasti mengharap aku pulang
Aku pun rindu membasahi bumi dengan keringatku
Tapi semua itu hanyalah tergantung pada Nya jua
Tapi aku merasa bangga
Setidak-tidaknya ku punya cita-cita

Sejak saat itu, saya meninggalkan kota dan hidup di desa bersama istri dan anak saya. Alam desa yang bersahaja, membuat hati saya tenang, meski hidup terkadang terasa kurang. Jadi, masih adakah yang bertanya kepada saya apa cita-cita saya? 

12 comments:

  1. hidup tanpa cita-cita bagai pergi tanpa tujuan sobat, selamat mengejar cita-cita....

    ReplyDelete
  2. cuma cita-cita kecil koq mas? Apalagi si bagi orang desa selain cita-cita?

    ReplyDelete
  3. .. emmmmmm,, cita-cita waktu kecil emank selalu beda pada waktu udah dewasa kayak gitu. namun kali ini sich,, aq hanya ingin menjadi anak yang berbakti dengan ortu dan suami. he..86x pluzZz,, ingin menjadi wanita yang seutuhnya. abiznya aq nich rada kecowokan banget. he..86x ..

    ReplyDelete
  4. Betul banget Mbak? Cita-cita kerap berubah dari waktu-ke waktu. saya tidak tau kenapa orang tua, termasuk saya mesti tanya kepada anak saya apa yang dia cita-citakan. Padahal kita sudah tahu bahwa waktu kecil dan dewasa cita-cita kadang berbeda jauh kenyataannya. Salam:)

    ReplyDelete
  5. Kata orang, Haji itu mulia kang? Katakanlah sudah sempurna ibadahnya. Atau penjenengan memang sudah Haji? Syukurlah kalau sudah. Soalnya, kebanyakan pedagang itu ada titel H didepan namanya..

    ReplyDelete
  6. Betul banget kang? mungkin panjenengan mau share soal sejarah kenapa titel H di Indonesia selalu dipakai bagi mereka yang sudah Haji?

    ReplyDelete
  7. kalau itu benar, koq ya warisan londo itu masih dipakai yah kang? Banyak yang bertitel H, tapi kelakuannya ampuuunnn...

    ReplyDelete
  8. Saya tinggal di jakarta. Dan cita-cita saya adalah menikmati hati tua di desa. Manakala anak2 sudah selesai dengan studinya.
    Jadi saya rasa, keputusan mas utk pindah ke desa itu adalah paaaas banget. Bisa hidup di desa dan mengupayakan kemandirian dalam kebutuhan hidup... waaahhh... itu impian saya.

    ReplyDelete
  9. Saya doakan semoga Cita-cita Mbak Niken menjadi kenyataan. Dan saya berharap juga ketika Mba Niken akan bermukim di desa, masih ada tempat bernama desa. Salam:)

    ReplyDelete
  10. kalo anak kecil biasanya cita-cita gak kemana-mana dokter sama guru,

    cita-cita saya juga berubah-rubah, tapi tetep fokus waktu masuk SMP bertahan 3 tahun jadi pramugari , tapi stelah masuk ke smk pengen jadi progamer padahal di lab juga pusing ngurusin kode robot, lalu berubah lagi jadi pengen berwirausaha :D
    .

    ReplyDelete
  11. yang pasti apa pun pekerjaanya, yang harus kita lakukan adalah yang terbaik bagi masyarakat

    ReplyDelete
  12. Mis Tia; Itu dia jadi wirausahawan yang saya lakukan tapi bolak-balik bangkrut. Mas Afrizal; betul mas, saya sepakat. Sejauh pekerjaan itu khalal. Trims sudah mampir ke rumahkecilku. Salam:)

    ReplyDelete