Balada Lelaki Setengah Baya

Hujan, berhentilah sejenak. Izinkan aku menyempurnakan lukisan di atas kertas ini. Gemuruhmu mengusik ingatanku. Lagi pula, tidakkah kau merasa lelah merebahkan tubuhmu di atas bumi sejak siang tadi? Kau tau, aku sedang melukis seraut wajah lelaki setengah baya? Dan selalu gagal menyempurnakannya. Dia, lelaki yang dalam sembahyangku sore tadi, ku kirimkan semacam permohonan kepada Tuhan, agar selalu dalam lindugan Nya. Hujan, cepatlah jeda sejenak, aku semakin kehilangan wujud bola matanya, hidungnya, rambutnya yang telah memutih beberapa, dan bentuk tubuhnya, yang ku tabung sekian puluh tahun dalam ingatan. Baiklah hujan yang bebal, aku selesaiakan lukisan ini hanya setengah. Akan ku teruskan dengan menuliskan balada untuk lelaki setengah baya.

Wahai lelaki setengah baya, lewat hujan yang angkuh ini, aku memohon ceritakanlah kembali. Riwayat yang indah waktu kau muda dahulu, karena ku takkan pernah bosan mendengar keperkasaanmu. Menantang nasib, memperbaiki hidup. Kau tahu, kau dapat merindukan, kau dapat mengenangkan, meski waktu terus berlalu hingga ke anak cucu. Lihatlah menantu perempuanmu yang kau ajari memasak dulu, kini dia kerap bernyanyi tentang sambal yang kau buat dari pohon burus. Dan aku yang kini jatuh merindukan aroma tembakau dan kemenyan dari asap rokokmu.

Kau, tetaplah pahlawan bagiku
Aku percaya, dalam sejarah, orang tak mesti harus jadi pahlawan. Sebab, serpihan kisah yang kau titipkan kepada senja dulu, adalah bagian dari sejarah yang tak pernah menyebutkan sosokmu sebagai pahlawan. Meski ku cari namamu di berbagai perpustakaan. Di catatan-catatan kaki buku pelajaran, atau di setiap prasasti, tak satu pun menyebutkan. Hanya di sebuah tugu di palung hatiku ku temukan, namamu terukir berjuluk pahlawan. Tanpa taggal, tanpa tahun. Hanya disertai keterangan berupa pertanyaan yang kokoh di samping namamu, dan makin membekas di ingatanku, “Apakah bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah?”

Dan malam ini, aku meraba-raba, mengira-ira jawaban yang mungkin kau lontarkan jika kelak ada perjumpaan. Namun, aku tidak akan mencatatkannya di atas kertas, atau dibalik tanggalan seperti yang kau lakukan ketika menghitung peruntungan. Hanya akan aku bekaskan pada ingatan. Semoga waktu sudi mengembalikan. Sesungguhnyalah aku menangis sangat lama. Namun aku pendam, agar engkau bekerja dengan tenang. Sesungguhnyalah, aku merasa belum cukup berbakti. Namun aku yakin engkau telah memaafkanku.

Karena itu, tolonglah aku. Hujan ini selaksa menjelma menjadi magma. Mengulitiku hingga belulang. Aku jatuh. Ambruk ke tanah. Menghiba pada apapun itu, agar aku bisa mencium keningmu. Basuhlah wajahku dengan keringatmu. Aku tak akan menyalahkanmu. Juga alam yang telah melahirkanku. Padangi jalanku dengan doa yang pernah kau ajarkan dulu. Tapi, sudahlah, kita sama-sama lelaki.
  
Ah, apakah engkau sudah memotong rambutmu, seperti pinta istrimu ketika sebagian rambutmu menutupi telinga dulu? Bacalah, aku pernah menuliskan kerinduan ini pada ibu, pada istrimu. Dan malam ini, rinduku kepadamu diiringi rasa sesal kenapa aku ini belum sanggup membuatmu nyaman menikmati hari yang sebentar lagi tua. Jalan ini, mungkin, dan aku yakin, tak pernah ingin kau pilih untuk kau lalui. Namun, itulah hidup. Bukankah kau kerap bicara bahwa hidup adalah sebuah pilihan, dahulu, sebelum aku beranak-istri? Ah, andai saja penyesalan mendahului kejadian, mungkin bukan jalan ini yang aku pilih. Bukan pula jalan yang sedang kau lalui sekarang.

Selamat malam, ayah, atau mungkin pagi!
Pinggir Kali Klawing, 01:30, 3 Desember 2012.

22 comments:

  1. arti ayah?? banyak banget , dia sosok pria yang kuat, dan tetap tegar, dia tak pernah terlihat murung meskipun dalam hatinya selalu mikir masa dpn anaknya
    aku jg pernah bikin artikel tentang papah :) .

    ReplyDelete
    Replies
    1. yup betul kawan, tinggal bagaimana kita menghormati, berbakti dan menghargainya....salam :)

      Delete
  2. tulisannya bagus kawan,,
    seorang ayah adalah tulang punggung dari keluarga,,
    semangaaaat ayaaahhh....

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih kawan? Mari kita sama2 berdoa untuk ayah kita. Trims sudah berkunjung (h)

      Delete
  3. yuk mari doakan ayah kita semua....

    ReplyDelete
  4. Do'a untuk ayah :)
    Tulisannya bagus mas,mengalir...
    Kunjungan siang yang bermanfaat ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih atas kunjungannya mbak? Tulisan di atas adalah sebuah percikan kerinduan seorang anak terhadap ayah. salam:)

      Delete
  5. ayah,...dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi....*sing a song

    ReplyDelete
    Replies
    1. nyanyinya di dalam hutan atau sawah tuh mbak?

      Delete
  6. hidup memang sebuah pilihan,artikel yg bagus sobat,terima kasih sudah berbagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya begitulah sob? Banyak pilihan sebenarnya. Namun terkadang di tengah jalan sepertinya kita kadang berfikir "Apakah memang ini pilihan hidup kita?" Terima kasih atas kunjungannya.

      Delete
  7. Tapi kok nggak ada hari Ayah ya???
    (g nyambung ya?)hehe...
    Kata2nya sangat menyentuh.
    Jadi inget ortu yg di kampung...
    Dah 5 tahun g pernah pulkam.... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. sesekali pulanglah ke kampung mbak, karena bagaimanapun jauhnya perjalanan kita, tetap saja kampung halaman adalah tanah pemberhentian yang terahir.

      Delete
  8. beliau berkata keras kepada kita. percayalah, di hatinya menyimpan rasa sesal kenapa harus berkata keras. tapi di balik itu, dia ingin anaknya menjadi seorang yang mandiri dan kuat sepertinya.

    tulisan di atas dengan style prosa liris, sangat enak dinikmati. mengalir perlahan, membuat pembaca betah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. demikianlah yang saya rasakan ketika sekarang ini telah menjadi sosok ayah. kerap berlaku atau berkata keras kepada anak, namun sejatinya saya menginginkan si anak menjadi orang yang benar..terimakasih mas, udah mampir. Salam..

      Delete
  9. tegar, itulah sosok seorang ayah. udah gitu aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jika sobat suatu saat jadi seorang ayah, tentu harus menjadi ayah yang tegar pula. Mudah dikatakan mas, namun sejatinya susah dilaksanakan seperti diriku ini. salam..

      Delete
  10. Replies
    1. bahkan saya sendiri tidak paham puitis itu apa loh mba? tapi makasih udah mampir..salam

      Delete
  11. ayah itu.. pahlawan untuk anak & istrinya.. hehe :P

    ReplyDelete